Rabu, Juli 30, 2008

istri ke4 seorang kiai



Kitab2 kuning berbalut sampul tebal itu aku hamburkan ke seluruh sudut kamarku, satu sudutpun tak kubiarkan lepas dari cengkeraman kemarahanku. Goresan2 huruf Arab yang selama ini telah kupelajari dengan tekun ternyata tidak membawa hidupku menjadi lebih baik. Jeritan jiwaku sudah melelehkan belenggu besi yang selama ini terlalu kuat untuk aku lawan. Aku telah terkapar di lembah yang telah diciptakan oleh institusi2 bejat yang dilegalkan oleh waktu dan peradaban.

Daqaa'i qul Akbar, Ghoyat at-taqrib, Ushfuriyah, Fadhoitul Amal, .........aku tidak tahu lagi, berapa jilid kitab2 kuning yang telah aku pelajari. Aku hanya menghamburkan mereka, berharap ada yang mendengarkan kekecewaan hatiku. Lelah menangis, aku mengambil kitab terakhir yang masih tersisa di meja belajarku, Uqudul lijain...........spontan aku sobek2 lembaran itu, seakan membalas dendam atas isinya yang telah menyobek2 harga diriku sebagai seorang wanita muslimah dan seorang manusia merdeka.

Diinginkan diriku oleh si tua itu, seseorang yang selalu memimpin sholat berjamaah di kampungku, yang sebelumnya telah mempunyai tiga istri, dan aku dijadikan pelengkap dikarenakan itu sunnah Rasul*. Tidak hanya sunnah bahkan, ditambahi label muákkadah** dibelakangnya. Aku tidak habis mengerti, apakah orang2 itu tidak bisa berhitung matematika, bahwa 2 itu lebih banyak daripada 1, dan kalau mereka mengerti hukum demokrasi, bahwa 2 itulah yang akan menang. Selalu mereka gembar-gembor ayat suci yang dipotong demi kepentingan patriarki, "kamu (laki2) boleh menikahi wanita satu, dua, tiga, atau empat", tanpa menyebutkan lanjutannya yang mengharuskan untuk berbuat adil, satu syarat yang sangat berat, bahkan Nabi Muhammad pun tidak bisa berbuat adil terhadap istri2nya, hanya adil lahiriah yang beliau bisa laksanakan, adil batiniah beliaupun harus angkat tangan. Apalagi jika ditambah dengan lanjutannya bahwa adil itu sangat susah bahkan mustahil terlaksanakan oleh seorang lelaki yang beristri lebih dari satu. Betapa berani mereka mendasarkan legalisasi poligami atas ayat suci Qurán yang mulia itu, sedangkan dengan pongahnya memotong sebagian untuk menonjolkan sebagian yang lain.

Berat sungguh kurasa, mataku semakin terpejam, seakan tak mau terbuka lagi. Hanya setetes demi setetes air mata yang menyelinap dalam ketertutupan itu. Kehidupanku selanjutnya pasti akan sangat berbeda dari hari2ku sebelumnya. Dua hari ini perutku sudah tidak mau menuntut untuk diisi, hanya suaranya saja yang kadang mengganggu telingaku, tapi perintah hatiku tetap mengatakan tidak mau. Aku menutup jendelaku rapat2, malu aku pada rembulan, tak ingin aku dibelai angin lagi, aku hanya ingin menyendiri dan meratap. Mencoba mencari sedikit alasan untuk tetap hidup dan berkarya sebagai makhluk.

Semakin larut, malam menarik selimutnya yang lembut, walau aku sudah tidak bisa merasakan kelembutan lagi. Kecantikanku selama ini ternyata tiada berarti, dan hanya akan kuserahkan kepada orang yang tak bisa aku mengerti. Untuk apa aku belajar selama ini, kalau ilmu2 itu hanya dipelajari "bil barkah", hanya untuk mendapatkan berkah dari pengarang2nya yang telah dipeluk dan dilumat bumi ratusan tahun yang lalu, sedangkan ilmunya sendiri tidak bisa dipraktekkan, kalaupun bisa sudah ketinggalan kereta peradaban. Romantisme masa lalu berlebihan yang banyak dipunyai oleh manusia2 beragama di jamanku.

Kuhempaskan dalam2 mukaku di bantal, sedalam hempasan asaku yang telah mencapai titik terendah. Kucoba menahan nafas, berharap derita batinku berkurang, tapi ternyata tak membantu sama sekali. Paru2 ku terasa penuh oleh sampah2 kehidupan, digerogoti sedikit demi sedikit, menyakitkan dan mengantarkan bau2 alam aneh yang tak dimengerti oleh seluruh badanku.

Kubalikkan badan lagi, mencoba menarik nafas dalam, sedalam tarikan lubang2 hitam atas bintang2 di sekitarnya, kuulangi berkali2, dan ternyata tak berpengaruh banyak. Kulepas satu persatu bajuku, jilbabku kulempar entah kemana, aku telanjang, tanpa sehelai kainpun menempel di tubuhku. Bersujud di kegelapan, sekali lagi aku meratap, dan ingatan2 indah itu seakan mengejekku, saat aku masih menjadi idaman para pemuda kampung, saat aku masih bisa bebas berimajinasi dan melukis masa depanku, saat aku masih bisa berbicara tidak, saat daun2 masih mengucapkan selamat pagi pada parasku. Telanjang seperti waktu aku pertama kali menghirup udara bumi, dan bersujud pada-Nya seperti sujudku waktu masih hangat mendiami uterus.

Sumpah serapah hatiku atas nasibku tak tertahan lagi, kuingin tumpahkan semua. Kenapa aku harus jadi korban sebuah anggapan yang belum tentu benar. Kalau mereka mau melaksanakan sunnah Rasul, kenapa mereka tidak mengawini janda2 tua yang tidak punya perlindungan seperti yang dilakukan Rasulullah. Kalau benar mereka mau bersunnah, tidakkah mereka tahu bahwa istri Rasulullah yang cantik hanyalah Zainab dan Aisyah, sedangkan kiai calon suamiku ini memilih istri2 muda dan cantik yang masih gadis saat dikawini. Dan aku tahu pasti laki2 ini tak pernah menyentuh pekerjaan dapur, sedangkan Rasulullah Muhammad sering memasak untuk keluarga di waktu luangnya.

Genggaman tanganku kupukul-2 kan ke lantai, berharap kesedihan ini mampu mengeraskan suaranya menembus batas2 surga, sehingga Nabi Muhammad-ku mau mendengarnya. Mengharap kelembutannya dan kejeniusannya menuntut manusia2 yang mengaku mengikutinya tetapi sama sekali tidak mengerti pesannya. Semakin sakit jari-jemariku menabrak lantai2 dingin, tapi kesesakan jiwaku tak juga berkurang.

Tiba2 teringat aku akan tajamnya pisau yang sering aku pakai untuk memotong bunga mawar di belakang rumahku, kilauannya menarikku untuk memeluknya, tidak hanya memeluk, tetapi mendekap manja. Seerat mungkin, membagi dukaku, dan karena memang tajamnya setajam dunia yang telah merobek hidupku.

Darah berlumuran....hanya kurasakan alirannya, karena gelap menghilangkan warnanya.

Tak lama kemudian..., aku bisa melihat tubuhku sendiri, telanjang penuh darah, memeluk lantai, dan tangis membahana dari sanak saudara................

anjing dan kucing 1

Rintik hujan semakin deras, aku hanya berdiri menunggu di bawah pohon yang rindang. Arlojiku sudah menunjukkan angka 5 sore, pertanda sejam sudah aku menunggu Ita...., kemanakah gerangan anak ini..?. Kejadian yang sering berulang memang, dia sering telat karena kesibukan yang memang kadang susah ditinggalkan. Begitulah susahnya punya pacar model, kalau pemotretan belum selesai belum bisa meninggalkan site.

Ita, gadis yang tinggi semampai ini sudah beberapa bulan menjadi kekasihku. Waktu itu secara tidak sengaja bertemu dia di lokasi pemotretan, aku mengantarkan catering untuk mereka. Ita yang waktu itu sudah kelihatan lapar banget datang cepat2 merebut rantang makanan yang aku pegang, aku yang baru masuk ruangan itu cuman bisa bengong. Rantang segera dia buka, dan dia makan dengan lahapnya....
"Eh Mas, jadi lupa nawarin..., makan yuk...!!!"
"Terima kasih, aku udah habis makan tadi, lagian kan kamu kelihatan kelaparan, nggak baik ngurangin jatah makan kamu."
"Nggak apa2 koq, paling aku juga nggak habis, keep on the line bo', nggak boleh makan banyak2" sambil memperlihatkan pinggangnya yang ramping dia ngrelain berdiri muter2 di depanku. Aku cuman bisa mupenk ngliatnya.
"Ayo...ikut makan.."
Gadis ini baik sekali pikirku, belum saja kenal sudah mau ngajak makan sama2, serantang bersama lagi. Aku muter otak, ah aku tadi lupa mandi, eh bukannya lupa aku memang males mandi, udah gitu gak pake parfum lagi. Pasti baunya minta ampun, cuaca panas kaya gini. Ah peduli amat, akhirnya kuberanikan diriku duduk bersila didepannya ngadepin itu rantang berdua.
"Mas, bau euy..., blon mandi yach..?'' nah kan baru aja aku duduk, dia udah protes.
"Eh nggak apa2 koq Mas, biasa lagi klo lagi panas kaya hari ini.." dia meralat ucapannya yang barusan kaya petir menyambar ubun2ku, sambil tersenyum manis.., manissss sekali....

Di sampingku si fotografer kelihatan agak kurang ramah denganku, dari tadi dia cuma diam seribu bahasa. Mungkin sakit gigi, atau memang dia biasa jualan senyum seribu perakan aku juga nggak tahu. Akhirnya aku ikut makan juga, sambil sesekali ngelirik si model yang suka cuap2 itu. Ah ngimpi apa aku tadi malam, bisa ketemu bidadari seramah ini. Ah iya, aku ngimpi kejar2 an sama maling..., loh koq jadinya ketemu sama gadis, joko sembung bawa golok amat ya', sama sekali gak ada nyambungnya. Kalau Om-ku aku ceritain, dia pasti langsung buka primbon kebanggaannya itu. Kalau ngimpinya ini, artinya inilah, nomornya inilah, pantangannya itulah, ah sampe ngantuk aku kalau ngomong sama dia. Sangking percayanya dia ama itu primbon, membawa istrinya ke rumah sakit aja perlu2 nya milih hari yang baik.

Begitulah awal yang indah sekaligus memalukan itu, karena perusahaan mereka langganan dengan catering ibuku, jadilah aku kurir yang tiap hari harus nganterin makanan2 itu. Dan aku sering ketemu dia, yang belakangan aku ketahui bernama Ratna Sita Amalia. Kita sering bercanda, kadang sampe kelewatan, sampe kadang aku sedikit jengkel, habisnya mentang2 dia cantik rupawan dan harum menawan, selalu ngejekin aku yang belum mandi lah, parfumnya bau sapi lah, kulitnya kaya kuda nil lah, yang kalau aku inget2 semua bisa sakit hati aku.

Dia ini hp-nya gak pernah berhenti berdering, kecuali klo lagi pemotretan, yang malam ini diajak nonton film, ditraktir di restoran yang mahalnya amit2, diajakin nonton konser, pokoknya gak ada berhentinya. Aku yang dicritain, cuman tambah melongo aja, nggak tau musti bilang apa. Sampai suatu sore, ketika aku nganterin rantang lagi, mukanya sembab, kaya mau nangis..., aku jadi salting, cuap2nya hilang sama sekali...

Aku serahin rantang itu ama fotografer itu, trus sama Ita, dia mandang aku sebentar, dan lihat jam tangan Swatch merah mudanya ..
"Mas, boleh sore ini minta tolong dianterin ke rumah..?"
Aku gelagapan, nggak siap dengan pertanyaan semacam itu..
"Kamu tahu kan klo aku naik vespa butut..?"
"Memang kenapa...?, aku cuman minta dianterin ke rumah, mau pake dokar kek, mau jalan kaki kek, mau dinaikin bajaj kek, mau nganterin aku nggak...?"
"Maunya sih mau, tapi aku minta bayar..."
"Berapa...?, asal jangan mahal2 yach.."
"Bayarannya kamu senyum sama aku satu menit...."
"Ah curang..., curang...!!!", cubitannya mendarat di pinggangku, waduh sakit sekali.
"Deal..?"
"Oke dech, tapi bayarnya besok ya jangan sekarang, aku lagi bete nih."
Setelah sesi pemotretan selesai, aku pun mengantarkan dia pulang dengan vespa bututku, baru aja mau naik motor Ita menangis terisak2, nah aku salting lagi...
"Ada apa Ita..? tanyaku hati-hati
"Aku benci..benci...aku benci hidup.."
sumpah, aku tambah bingung dengan ucapannya itu. Menghambur dia didadaku, genggamannya memukul2 dadaku, wah Ita ini apa nggak tahu apa kalau aku bukan olahragawan yang punya dada bidang, lagian aku kan nggak salah sama dia, kenapa aku yang dipukulin. Cacingan deh gue eh kasihan deh gue. Ah tapi aku diam saja, aku biarkan dia nangis dulu, biar amarahnya sedikit reda. Setelah menangis beberapa lama, aku peluk dia dan kududukkan di sadel vespaku yang udah mulai robek di sana sini.
"Kamu ada masalah apa Ita?"
"Aku benci..., cowok2 itu pada ngejar2 aku karena penampilan lahiriahku saja, mereka sama sekali tidak ada yang ngerti aku, diajak yang hura2 saja, ketika aku ada masalah tidak ada yang mau ngedengerin."
Ah, ternyata tentang cowok to..., aku tahu memang ini gadis yang suka banyak, ya terang lah udah cantik, model, baik lagi, trus gampang bergaul, dan nggak sombong. Kebanyakan mereka org2 tajir lah, tentengannya hp terbaru, tongkrongannya mobil2 mengkilap, tapi yah itu memang nasibnya Ita kali yach.
"Mereka bilang cinta denganku, tapi aku tahu mereka tidak ada yang serius, jika saja aku tidak cantik mereka pasti tidak ada yang mau mendekatiku. Ego cowok terlalu tinggi, maunya menang sendiri, kalau butuh saja merengek2 datang, kalau sudah tidak butuh, telfon aja nggak pernah."
Ita sudah menyerang kaumku ini, walah walah tapi biarlah yang penting aku tidak merasa demikian. Aku dengerin saja....
"Maunya aku nurut sama dia, emang jaman Siti Nurbaya apa, wanita harus monggo kerso sama laki2, kita hanya jadi suboordinatnya, terus dunianya hedonis banget, pandangannya profan, kita kan sudah merdeka dari pemikiran konservatif"
Aku sedikit tersentak, gadis ini ternyata pinter juga, nggak tahu seberapa jauh, tapi kayaknya akrab dengan dunia feminisme. Aku beranikan ambil tissue di tangannya, dan aku hapus sedikit demi sedikit air matanya.
"Sudah marahnya..?" aku berhadapan muka sambil tersenyum sekenaku, aku tahu nggak manis tapi ya sudahlah yang penting kan senyum.
Eh dianya mulai tersenyum...., singa betina yang tadi lapar siap merobek2 mangsa sudah mulai menyurutkan taringnya.
"Tidak selamanya dunia ini seperti yang kita kehendaki, karena idealisme harus selalu berhadapan realita, duniamupun begitu nona manis, cobalah belajar dari apa yang dibentangkan Tuhan buat kita, jangan menyerah ketika kita tenggelam, ambillah sedikit hikmah dari pengalaman itu."
Ita tersenyum lagi, dan...mmhhh...dia mencium aku.

Bumi gonjang-ganjing, langit kelap2 katon
Pourquoi Avenez avec moi.......ma chere

anjing dan kucing 2

Matahari perlahan berjalan anggun meninggalkan tempat tidurnya, burung2 berteriak2 kegirangan bak pororoco*, ehmmm.., senyum Ita sudah menghiasi pagiku. Aku masih mengusap2 mataku, menghilangkan sisa2 tidur yang masih terpampang di mata. Dia berjingkat2 menggandeng tanganku, mengantarkanku ke kamar mandi, sehelai handuk putih yang sudah disiapkannya dari tadi disampirkan di pundakku.

"Sana mandi....., biar bau pete campur jengkolnya hilang" Ita mendorongku masuk ke kamar mandi sambil tertawa renyah, dan segera menutup pintunya.

Ah Ita selalu datang pagi2 sekali ke rumahku kalau hari Minggu, sejak kejadian sore itu, dia semakin manja denganku, dia bilang bahwa dia lebih nyaman bersamaku, bisa mengolok2 aku, bisa bercanda bebas seperti monyet2 kecil, mencubit2 sekujur tubuhku sampe biru, tanpa takut sama sekali bahwa aku akan marah, karena aku memang tidak bisa marah. Dia bilang juga kalau dia banyak mau belajar dari aku, belajar menghargai hidup, belajar mencintai kesederhanaan, belajar mandiri dan tidak menggantungkan diri pada orang lain. Lagi2 aku cuman bengong saat dia bilang seperti itu, bukankah itu sangat berlebihan untuk diucapkan kepadaku, seakan2 aku telah menjadi seorang Winnetou**, pemuda berkulit merah sang pembela kebenaran.

Ibuku selalu bilang untuk berhati2 dengan wanita yang sedang jatuh cinta, karena cinta seorang wanita itu bagaikan cinta seekor anjing terhadap tuannya. Suka dan lara akan rela dijalaninya ketika wanita merasa sudah menemukan seorang pria yang patut dicintainya. Dia akan mengikutimu kemanapun engkau pergi, walaupun mungkin itu bisa membahayakan dirinya sendiri.

Teman2 satu fakultas gempar, berita bahwa aku pacaran dengan Ita sudah merebak ke mana2. Banyak di antara mereka yang mencibir, mereka bilang hubungan kami tidak akan berjalan lama. Mereka seakan telah pernah membaca Serat Jayabaya masa depan hubungan kami. Ada pula beberapa yang memberi ucapan selamat, mereka bilang hubungan kami adalah hubungan petir, hubungan yang menyatukan antara bumi dan langit, hubungan antara Shrek dan Putri Fiona, dan itu patut dirayakan, karena hubungan seperti ini sangat jarang ditemukan di jagad raya.

Hubungan kami ternyata berjalan lancar2 saja, sampai suatu saat aku bertemu dengan tetangga baruku, dia pindah dari kota L karena bapaknya lebih merasa cocok untuk menjalankan bisnis di kotaku, dan mereka membeli rumah persis di depan rumahku. Suatu sore mereka mengenalkan diri pada keluarga kami, lengkap dengan seluruh anggota keluarga, aku pikir2 keluarga ini contoh keluarga berencana yang sukses, salah satu dari sedikit program yang cukup bagus yang diluncurkan oleh rejim fasis Suharto. Bagaimana tidak, mereka adalah keluarga yang terdiri dari 4 anggota keluarga, ayah, ibu, dan 2 anak. Seorang anak perempuan dan seorang anak laki2. Perkenalan mereka cukup singkat, sampai aku sendiri tidak jelas mengingat nama2 mereka, tapi ada semacam kekuatan yang menyihirku sehingga malam itu aku tidak bisa tidur, dalam perkenalan itu aku sempat bertatap pandang dengan gadis tetangga baruku itu, dia yang hanya diam saja sambil hanya sesekali tersenyum kalau ada pembicaraan antara bapak ibuku dan bapak ibunya dia yang lucu. Dia tidak berbicara sepatah katapun. Aku tidak tahu, hatiku mengatakan bahwa gadis ini mempunyai kekuatan yang tidak dipunyai oleh gadis2 lain. Kekuatan magis-nya telah menyihirku semalam penuh tanpa aku bisa melawannya, sedikitpun tidak.

Hari berikutnya, saat aku sedang asyik2nya membaca kisah2 petualangan anak2 nya Leo Tolstoy*** di depan rumah, gadis yang kemarin itu berjalan seperti macan luwe (singa lapar=jawa) menuju ke arah rumah kami, rambut hitam sepunggungnya tampak mengkilat2 dibelai sang mentari, dia membawa nampan kecil...........
"Assalamu alaykum......, Kakak...ibu ada di rumah....?"
aku geragapan, walau aku sudah melihatnya dari jauh dari tadi, tapi toch aku grogi melihatnya...
"Eh...ehmm...anu....ibu lagi di belakang, mau dipanggilkan...?"
"Kalau kakak tidak berkeberatan"
Aku bergegas pergi kebelakang, mendapatkan ibuku sedang membikin sambal pecel untuk makan nanti malam. Karena langkahku terburu2 kaya dikejar hansip, kakiku menabrak kaki meja dan aku hampir saja jatuh terjungkal di dapur. Ibuku menoleh sambil geleng2...
"Bu, ada anaknya tetangga depan rumah itu datang, itu lho anaknya yang perempuan"
Ibu segera bangkit dari kesibukannya dan langsung menuju ke depan rumah...
"Eeehhh....Nak....!!!" kata2 ibu tersendat, sepertinya ibu lupa nama gadis itu.
"Aisya Bu, nama saya Aisya..."
"Oh ya Aisya, saya lupa lagi namanya, silahkan masuk Nak Aisya...., Arya ini gimana...ada tamu koq nggak dipersilahkan masuk."
"Emmhh..anu Bu...!!"aku jadi bingung ibu bilang begitu, tapi belum selesai kalimatku sudah dipotong oleh ibu lagi.
"Ada perlu apa Nak Aisya, ada yang perlu kami bantu..?
"Tidak koq Bu, saya hanya mengantarkan kue jajan buatan Mama untuk Ibu dan keluarga"
"Wah terima kasih sekali, sungguh bahagia kami mendapatkan tetangga baru yang begitu baik, repot2 sekali Mamamu membuat kue buat kami, Arya temenin Nak Aisya ngobrol yach, Ibu mau ke belakang sebentar nyelesaiin sambelnya Ibu sama masukin kuenya ke kulkas buat buka puasa kamu nanti sore"
Ah Ibu...., kenapa kami ditinggalkan berdua...
ruang tamu jadi sangat hening, sampai kudengar detik2 jarum jam mewarnai keheningan, kulihat sekilas Aisya juga cuma menundukkan muka, aku juga diam seribu bahasa. Aku tiba2 saja blank tidak tahu harus bilang apa.
5 menit berlalu tanpa sepatah katapun, aku mulai tidak enak pada diriku sendiri, bukankah ibu tadi bilang kalau aku disuruh nemenin ngobrol dia. Ah.., aku lupa...aku bisa nawarin minum..
"Ehmmm, A..."belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, ibu sudah datang dari belakang.
"Lho, koq diem2 an aja berdua, Nak Aisya mau minum apa..?
Nah kan.., ibu mendahuluiku lagi...
"Makasih Ibu, saya mau permisi dulu, maaf musti nemenin Mama nyiapin buat ulang tahun adik saya Bayu besok."
Akhirnya Aisya pamitan dan meninggalkan rumah kami, aku menyesal sejadi2nya karena melewatkan kesempatan ngobrol sama dia tadi.
Tibalah saat berbuka, aku mengambil air teh yang sudah dibuatkan oleh ibu dan segera kuminum tandas karena sangking hausnya, dan ibu segera memberikan kue yang dibawa Aisya barusan. Ibu segera menyuruhku makan, tetapi aku tidak punya nafsu makan, aku teringat2 kejadian di ruang tamu tadi saja. Sehabis sholat maghrib, Ibu memanggil aku ke kamarnya....
"Arya, kamu baik2 saja...?"
Aku cium tangan ibuku dan aku menganggukkan kepala...pertanyaan ibuku yg sederhana ini menandakan bahwa dia sudah tahu gejolak dalam hatiku.
"Arya, ingatlah...cinta laki2 itu seperti kucing, yang akan hinggap kemanapun dan ke siapapun yang memanjakannya. Kucing akan makan pemberian tuannya dengan lahap dan kadang2 mencuri yang bukan haknya.
Tetapi kucing yang bijaksana akan tahu mana makanan yang seharusnya dia makan dan mana yang harus dia hindari. Pria yang bijaksana pun akan tahu membedakan antara wanita dan perempuan biasa."

Aku hanya bisa mengangguk atas nasihat ibuku. Ibu seakan tahu kemana darahku akan mengalir, seberapa cepat detak jantungku berdenyut. Aku cium tangan ibuku sekali lagi sebagai rasa terima kasih atas kata2 bijaknya yang baru kudapat.
Hari2 berlalu dengan cepatnya, hari2 ku diisi dengan canda tawa Ita yang tak ada henti2nya. Tapi hatiku tak bisa lepas dari sosok Aisya yang semakin lama semakin kusadari bahwa Aisya lah yang dimaksudkan Ibu sebagai wanita. Aku tahu itu dari perbincangan2 ibunya Aisya dan ibuku. Aisya adalah gadis yang sangat cerdas, berbudi halus bak Putri Solo baru turun dari taksi eh salah ..dari kereta kencana, berprestasi di sekolahnya, kepandaiannya dalam seni tak usah diragukan lagi.
Dan semakin lama juga semakin kusadari, bahwa Ita adalah perempuan biasa, dia mungkin luar biasa di mata orang2, tapi sejatinya dia adalah perempuan biasa. Akhir2 ini dia sering menuntutku untuk berpakaian lebih perlente, menuntutku untuk kongkow2 di mall, menuntutku untuk mengecat vespa bututku biar kelihatan lebih bagus, mengganti joknya, dan sebagainya dan sebagainya.

Aku kembali teringat pesan ibuku beberapa bulan lalu, ibu bilang bahwa kebanyakan kaum perempuan terutama yang muda akan lebih cenderung mencintai laki2 dan bukan pria. Karena laki2 membuatnya tertawa2, sedangkan pria membuatnya tersenyum gembira, karena laki2 menyajikan hiburan semata, sedangkan pria memberikan nasihat2 bermakna. Karena laki2 mempunyai lengan perkasa dan kuda2 bermesin, sedangkan pria hanya menawarkan kesederhanaan dan kasih sayang. Karena laki2 memanjakannya dengan perhiasan dan kemewahan, sedangkan pria memujanya dengan kata2 dan pujian.

Ah...seandainya Aisya tahu bahwa aku sangat mencintainya.
Je t'aime.....alizee

Kembang Yang Hilang

Krriiiiingggg.....Kriiiiiinggggggg.......

"Andi....telpon...?" Hari dengan betenya memanggilku, dia ngantuk sehabis acara rapat pembentukan panitia Ramadhan tadi malam.

"Ya, sebentar....., dah hampir selesai mandi...!!!, dari siapa sih...siang bolong gini..?" jawabku sekenanya dari kamar mandi.

"Biasa...dari Deasy, katanya dia mo tunggu...loe cepetan, interlokal nih...!!!!, Hari makin gedeg aja tau gelagatku yang sok nyantai.

"Ya, brisik amat sih loe"

Telepon itu mungkin telepon ke 1000 kalinya dari Deasy untukku, hal yang aneh, aku belum pernah bertemu dia, tapi kita sudah pacaran. Aku hanya iseng bilang cinta sama dia, dan dia menerimanya. Aku pernah belajar meramal suara orang, dari suaranya gadis itu sangat lembut dan perhatian, aku tidak mencintainya barangkali, karena aku tak mau menggantungkan hidup dalam hal yang tak pasti.

Hampir setiap hari Deasy selalu telpon aku, dari pembicaraan singkat 5 menitan hingga kadang sampai 3 jam. Telingaku kadang panas, sepanas hatiku karena membayangkan kegilaanku berani memacari wanita yang belum pernah aku kutemui.

Dan setahun pun berlalu.................

Aku gelisah, begitu pulang dari kampus aku langsung mengambil wudhu dan sholat dhuhur, mencoba menenangkan diri sejenak. Sudah seminggu ini Deasy tidak menelponku. Aku tidak tahu mengapa...., dia hilang begitu saja. Dia begitu misterius....begitu jauh untuk kujangkau. Hatiku benar2 bingung, tidak biasanya dia seperti ini. Aku sudah terbiasa terbius oleh suara halusnya di tengah malam, aku sudah mencampur dalam desahan manja di telepon itu. Aku mungkin jatuh cinta, tapi otakku memaksaku untuk mengatakan tidak, aku tidak mungkin jatuh cinta pada suara, aku tidak mungkin jatuh cinta pada wujud tanpa rupa.

Kriiiiiiiiiingggggggggggg........

kurang ajar kata batinku, setiap kali ada bunyi telepon hatiku selalu berdegup keras, mengharap Deasy ada di ujung sana. Tapi dia tak kunjung datang, atau aku saja yang bodoh mengharapkan dia. Aku sedang mengarahkan pandanganku pada televisi, acara sinetron yang membosankan, sinetron "Tersanjung" , sinetron tak berkualitas yang hanya membelit2kan pokok persoalan untuk memperpanjang masa tayang, dan celakanya saudara sebangsaku terutama ibu2 termasuk ibuku sendiri suka sekali dengan sinetron itu. Mataku memandangi tv tua itu, tapi sebenarnya menerawang jauh membayangkan apa yang terjadi dengan bidadari kayanganku itu, mungkinkah dia menemukan pria lain dalam kehidupan nyatanya, mungkinkah dia sakit keras sehingga tidak bisa menelpon aku, mungkinkah dia sadar bahwa hubungan seperti ini tidak mungkin dilanjutkan, mungkinkah............

Hari terlihat tersenyum, senyum yang aku selalu hindari untuk melihatnya, karena sifatnya yang kebanci2an itu, tapi kali ini aku harus melihat, karena instingku mengatakan ada berita darinya. Hari mendekatiku, dan berbisik .........

"Andi, Deasy sakit keras, dia menderita leukemia akut, mungkin nyawanya tidak bisa terselamatkan...." Lhadalah ngadubilah, salah satu prasangkaku benar, dia sakit, oh bidadariku itu sakit, oh apa yang harus kulakukan.

"Mana dia...?, mau dia bicara denganku...?"

"Hee...., sabar kenapa...., telponnya sudah ditutup, tadi dia cuman bilang dengan suara yang lemah sekali, mengabarkan kondisinya"

"Kenapa kau tidak kasih aku...?" mmmmmhhhhh aku mau mengumpat, tapi aku tidak terbiasa, aku tidak bisa marah.

"Abisnya dia nggak mau koq..., emang aku harus maksa, enak aja..."

Kali ini aku harus ngalah sama Hari, memang hal ini none of his business, sudah untung dia mau menyampaikan pesannya Deasy. Dugaanku telah menjadi kenyataan, Deasy sakit parah dan dirawat di rumah sakit. Sedangkan aku, aku masih di sini, segar bugar, tidak ikut merasakan penderitaannya, tidak mendampinginya saat dia membutuhkan seseorang disampingnya. Yah, apa mau dikata, nomor telponnya pun aku tidak punya, dia selalu mengelak jika kutanya tentang alamat, no telpon, atau apapun yang berkaitan dengan jatidiri sebenarnya dia. Dia hanya sering bercerita tentang kehidupannya sehari2 di ujung sana, kapan dia pergi ke kampus, bagaimana dia sering merawat anak kecil yang sudah tidak punya ibu lagi (anak tetangganya yang sering dititipkan ke Deasy tanpa bayaran, karena anak itu sangat senang dengannya), bagaimana dia sering digodain sama pemuda2 yang kost di depan rumahnya, semua diceritakan padaku dengan detailnya. Aku seperti dibacakan novel kehidupan seorang bidadari yang hendak mati, tetapi masih melakukan kewajibannya untuk belajar, mengasihi, mencintai, tanpa sekalipun mengharapkan untuk menerima kembali. Pernah suatu saat secara tidak sengaja dia bilang bahwa dia tidak ingin melukai aku, karena dia memang sakit parah dan sudah pasti tidak bisa membahagiakan aku.

Aku menjadi susah tidur selama beberapa hari, lamunanku tidak lain hanyalah Deasy seorang. Fotonya dalam pakaian casual dengan balutan jeans warna abu2 dan t-shirt putih yang begitu cantik sering kupandangi, oh andainya dia benar2 ada dalam kehidupanku. Foto Deasy satu2nya yang kupunya, sebagai tanda perkenalan kira2 setahun yang lalu, yang kudapatkan dari keponakannya yang tinggal sekota denganku. Suaranya yang begitu halus, meyakinkan aku bahwa dia seorang gadis yang lemah lembut, dan cenderung menyendiri. Aku tak tahu mengapa aku harus jatuh cinta dengan hantu, mengapa aku harus mengharapkan orang yang suatu saat pasti mengecewakan aku.

Beberapa hari terlewati sudah, resahku sudah mulai berkurang, mulai sibuk dengan kegiatan kuliah dan kegiatan masjid, bayangan Deasy sudah mulai bisa kulupakan. Tetapi aku tak bisa memungkiri, aku mencintai gadis ini, belum pernah aku menemui wanita selembut dan sehalus dia, maksudku di alam nyata.

Setelah selesai mengerjakan tugas laporan field trip ke objek wisata, mataku sangat lelah setelah hampir semalaman di depan komputer, aku mengambil gitar yang setia menemaniku sejak aku masih di SMA, saksi bisu cinta pertama dan keduaku yang sudah berakhir itu, dan aku mulai menyanyi, sekenanya mulai dari lagunya Norah Jones sampai Didi Kempot, mataku sudah ngantuk sekali, masih kucoba memetik dan menyanyi lagu Diva-nya Gigi, akupun akhirnya terlelap dengan gitar masih di pelukanku...........

Ketika Hawa tidak mencintai Adam

Kutinggalkan Indonesia, negeri indah penuh bajingan itu. Bajingan yang bisa berkamuflase, dalam segala bentuk dan suasana. Terbang menuju negeri baru yang mungkin akan memberikan nasib lebih baik bagiku. Posisiku sudah cukup lumayan di rumah sakit tempat aku bekerja, cukup kalau hanya sekedar menghidupi diriku sendiri, tapi untuk menghidupi keluarga, apalagi untuk menghidupi anak2ku nanti, aku tidak tahu. Setelah kupikir lama dan atas persetujuan keluarga, akhirnya aku berangkat juga. Hanya saja ada torehan luka yang tersayat menjelang saat2 keberangkatanku, tunanganku memutuskan untuk tidak memberikan lagi curahan cintanya kepadaku, jarak yang terlalu jauh katanya, alasan klise yang membuat hatiku hancur, perjuanganku selama ini ternyata sia2, pengorbananku terhadapnya terlempar begitu saja. Tapi aku hanya bisa menangis, sampai kacamataku harus rela basah oleh deritaku. Memalukan mungkin, bagaimana mungkin aku menangis di saat usiaku yang sudah menjelang kepala tiga.

Tertatih2 di negeri baru, aku tidak perduli, hidup kuanggap sebagai permainan judi, kalah dan menang adalah keniscayaan. Kehidupan baruku terisi dengan kerja dan kerja, profesi perawat di sini ternyata tidak semudah di Indonesia, aku harus mengurus orang2 tua yang praktis sudah tidak bisa apa-apa, orang2 tua yang sudah tidak diurus oleh anak2nya,
yang hanya didatangi jika mereka sudah mati, hanya demi mendapatkan beberapa dari peninggalannya yang masih berarti.

Aku pun bisa menabung, penghasilan yang kudapatkan jelas jauh lebih besar daripada yang kudapatkan di Indonesia, tak lupa setiap bulan aku akan mengirim sebagian ke keluargaku dan sebagian lagi aku sumbangkan untuk pembangunan masjid di RW-ku yang setahuku sejak aku masih SMP sudah mulai dilakukan pembangunan dan sampai sekarang belum selesai. Keluargaku begitu bahagia, itu terlihat dari surat2 yang mereka kirimkan, tak lupa juga ada salam dari ketua RW segala, yang sangat berterima kasih telah menyelamatkannya dari coreng moreng cemooh atas tertunda2nya pembangunan masjid itu.

1 tahun berlalu..........................

Queen's Day, Koningin Dag, orang sini bilang. Semua orang keluar dari rumah, merayakan hari kelahiran ratu. Dan hari ini telah tertradisikan menjadi sebuah pasar terbuka di seluruh pelosok negeri, semua barang2 rumah yang sudah jarang dipakai ataupun sudah tidak dipakai akan dipajang di depan rumah atau di pusat2 kota untuk dijual murah, mungkin bisa dibilang hampir gratis. Rumah jompo tempat aku bekerja berinisiatif untuk menghibur para bewoners* dengan apa yang kami bisa. Aku dan para teman2 sekerja pun mulai berunding, ada yang menginginkan pemutaran film, ada yang drama, ada yang ballet, ada yang ingin diadakan sekedar pesta kecil2an, ada pula yang tidak mau mengadakan acara mengingat kami kekurangan orang.

Tapi akhirnya diputuskan untuk membuat dua acara, ballet dan drama. Hampir semua dari kami diharuskan bermain, bahkan Eric satu2nya laki2 di antara kami pun diwajibkan ikut. Untuk ballet dipilih bagian terakhir dari cerita "Romeo and Juliet" yang mengharukan itu, setelah berdebat seru karena sebagian yang lain ingin "Don Quixote", karena kisahnya lebih heroik. Untuk drama kami memutuskan untuk memainkan "The Inspector-General" sebuah drama komedi ala Rusia. Aneh2 saja memang, ternyata Rusia mempunyai permasalahan yang hampir sama dengan bangsaku Indonesia, penuh dengan pejabat yang korup dan sewenang2, berteriak2 seakan komunis**tetapi berjiwa oligark***. Eric membisiku begitu, setelah melihat aku hanya melongo saja, karena aku tidak tahu apa isi drama Rusia itu.

Aku kebagian peran menjadi Juliet, dan setelah beberapa lama berdebat, Janice kebagian peran Romeonya. Sebenarnya peran itu ditugaskan ke Eric, tapi Eric dengan mentah2 menolaknya, selidik punya selidik, ternyata dia seorang gay, yang mungkin jijik jika berciuman dengan lawan jenisnya seperti aku ini. Rumor itu ternyata benar, Eric yang akrab sekali dengan dunia malam itu, sepertinya sudah bosan dengan perempuan dengan segala tetek bengeknya.

Siang itu pertunjukan begitu meriah, kulihat lagi senyum2 bahagia di antara orang2 tua itu, yang biasanya sehari2 cuma bisa memerintah dan teriak2 minta tolong. Dan pertunjukan balletku sebagai Juliet adalah pertunjukan pamungkas, dengan adegan ciuman Romeo kepada Juliet, Janice menciumku dengan lembut, lembut sekali, getaran yang bertransformasi menjadi sensasi indah. Aku kaget campur bingung, ciuman itu terasa sangat lain. Geletarnya merambat ke seluruh tubuh...., aku sampai meneteskan air mata.

Setelah acara selesai, Janice menghampiriku, menanyakan apakah aku baik2 saja, karena melihat aku menangis tadi. Aku bilang baik2 saja, karena aku menangis bukan karena sedih, tapi karena ada sesuatu yang tak terkatakan dalam ciuman tadi. Janice mengundangku datang ke rumahnya malamnya, sekedar untuk masak bersama dan keluar ke pusat kota untuk sekedar cuci mata.

Sudah agak larut ketika kami pulang dari tempat kerja kami, aku dan Janice yang kebetulan tinggal tidak terlalu jauh pulang bersama2. Dingin musim semi masih semilir menebarkan nuansanya, masih membuat bunga2 sedikit malu untuk menawarkan indahnya. Kami berjalan agak bergegas, diantara gedung2 kuno dan museum yang memang menjadi ciri khas kota yang aku tinggali. Janice berjalan sambil menggenggam tanganku, dingin yang tadi aku rasakan, berubah menjadi hambar atau mungkin netral, aku tidak tahu. Yang pasti aku seperti cawan anggur yang telah kehilangan isinya, berisi partikel2 udara dan siap dimasuki oleh tuangan selanjutnya.

Sekitar jam 7 malam, aku ke dapur untuk memasak. Tak lama kemudian Janice pun datang, dia sudah berpakaian rapi, agak lain dari biasanya. Kami pun masak Tagliatelle*********, salah satu makanan favorit yang hampir disukai semua orang di tempat kerja kami.

Diam2 Janice merangkulku dari belakang dan membisikkan..
"I love you..."
aku segera menyibakkan tangannya, dan berbalik arah.
"Kamu gila ya......" dengan nada ketus aku mengucapkannya, tak tahu apa ada kata lain yang lebih bagus.
"Kebahagiaan orang yang dicintai adalah kebahagiaan orang yang mencintai" dengan tatapan matanya yang nanar ke arahku, Janice dengan geragapan mengucapkan kalimat itu.
Aku terdiam................................................

Kami tinggal serumah sekarang, sedari awal aku sudah berusaha menyembunyikan berita ini. Tapi gosip dengan santernya beredar, apalagi di kalangan kelompok pengajian PKS (Partai Keadilan Sejahtera) yang sering aku ikuti. Aku menjadi terasing di forum yang biasanya syarat pesan2 moral itu. Anggapan bahwa aku seorang lesbi membuat mereka berhati2 terhadapku, dan dari pandangan mata mereka tampak sekali bahwa mereka seakan jijik melihatku. Itupun ditambah dengan sindiran2 halus nan menyakitkan ketika ada ceramah, tentang berbahayanya homoseksual (menyukai sesama jenis kelamin) baik itu gay ataupun lesbi. Bahkan Hasan, yang selama ini sangat dekat denganku, dan aku tahu dia memang menyukaiku, berubah 180% menjadi memusuhiku.

Hatiku hancur, arus yang biasanya ramah kepadaku, kini semakin deras menyeretku dan merobek2 pertahananku dengan pusaran2nya yang dahsyat dan mematikan. Tapi aku berusaha menguasai diriku, apapun yang terjadi, akal harus selalu berada di atas perasaanku. Kala sendiri di rumah dan Janice sedang kerja, aku sering menangis, mengapa Tuhan membalas ketaatanku selama ini dengan perasaan seperti ini. Tapi sekali lagi aku tidak perduli, apakah Tuhan yang katanya penuh cinta itu akan melarang makhluknya untuk mencintai makhluk lainnya walaupun itu sesama jenis. Dan aku tahu bahwa aku tidak sendiri, Janice yang berasal dari keluarga Katolik Ortodoks itupun menghadapi permasalahan yang sama. Keluarganya sangat marah begitu mendengar bahwa kami samen leven, menginjak2 ajaran Bible katanya. Sodom dan Gomora sudah diratakan dengan tanah, karena Tuhan geram atas tindakan penghuninya, dan sekarang anaknya yang melakukan hal yang sama. Tak jauh beda denganku yang dituduh makar terhadap ajaran Al-Quran, melakukan liwath**** dengan terang2an.

Janice sudah mengatakan tentang hubungan kami kepada orangtuanya, dan dia sekarang menuntutku untuk melakukan hal yang sama, liburan summer ini dia ingin aku memperkenalkan dia ke keluargaku. Aku shock berat, tak tahu harus berbuat apa, berpikirpun aku tak berani, aku yang sudah sedemikian terisolir di kalangan sahabat2ku itu, tak mau membayangkan jika juga harus terdepak dari keluargaku yang sangat aku cintai. Sedemikian pedih penderitaanku, dan tidak ada yang bisa aku ajak membagi cerita, apalagi membagi duka. Kalutku semakin memuncak, sampai aku sakit, beberapa hari ini aku tidak masuk kerja. Kadang ada pikiran untuk mengakhiri saja hidup ini, tapi ketika kupikir lagi, bukannya menyelesaikan masalah, malah akan tambah memperparah. Tiba2 ada keinginan untuk memainkan hp-ku, dan mataku terantuk pada sebuah nama, Ahmad, dia yang selalu diam ketika ceramah itu dan seketika berubah menjadi play maker dengan canda dan kata2nya sehabis ceramah. Aku meneleponnya...
"Met Ahmad *****......." terdengar suara merdunya di ujung sana.
"Assalamu alaykum, Ahmad kamu bisa datang ke rumahku sore ini"
"Hhmmm, aku kerja sampai jam 5 sore, gimana klo agak malam, jam 7an gitu, tidak apa2 kan..?"
"Oke deh, klo kamu capek ya jangan, tapi klo tidak terima kasih sekali. Tot vanavond..******"

Ahmad datang tepat waktu, sudah menjadi kebiasaannya, justru karena dia tidak pernah memakai arloji. Gatal katanya kalau pakai arloji, dasar orang kampung hehehe..., tapi konon Ahmad ini pinter, dan religius juga, puasa senin kamisnya gak pernah ketinggalan walau udah lama di negeri orang. Tapi persetan dengan itu semua, mau dia puasa, mau dia sholat, mau dia bajingan, aku tidak perduli, aku hanya ingin curhat. Meminta sekedar pendapat tentang masalahku.

"Tuhan menghukum kaum Luth di Sodom dan Gomora, karena mereka mau melakukan homoseksual itu dengan paksa, dan waktu itu akan dilakukan kepada tamu nabi Luth, sebenarnya jika dengan baik2 dan tidak memaksa, mungkin kejadiannya akan berakhir lebih bagus"
aku kaget bukan alang kepalang, kata2 menyejukkan pertama kali yang kudengar dari orang yang kubayangkan beragama. Setelah aku cerita panjang lebar tentang diriku, aku hanya bisa berharap bahwa Ahmad menasihatiku baik2 bahwa perbuatanku salah dan sebagainya, atau menjelaskan bahwa perbuatanku adalah salah satu mental disorder ( kelainan jiwa).

"APA (American Psychiatric Association) sudah menerangkan bahwa homoseksual bukan kelainan, begitupun WHO. Kita menjadi gay, lesbi, biseks ataupun hetero bisa jadi karena memang dari sananya sudah begitu, naturenya kita sudah diciptakan begitu. Aku sebagai seorang hetero tidak berhak menyalahkanmu atas pilihanmu, karena cinta adalah ungkapan tulus seorang anak manusia, siapapun itu bahkan Tuhan sekalipun tidak berhak melarangmu"

pernyataan keduanya lebih membuat aku kaget lagi, seorang Ahmad yang selama ini diam ternyata menyimpan pernyataan2 toleran dan egaliter semacam itu.

"Tapi aku pernah juga mencintai seorang laki2 Ahmad, aku takut kalau aku mengingkari kodratku" aku masih kurang percaya apa yang dikatakan Ahmad, aku hanya ragu mungkin saja dia hanya ingin mengurangi deritaku dengan ucapan2nya.

"Memang, karena memang homoseksualitas tidak hanya dari nature saja, tapi juga dari nurture, lingkungan yang membentuk kita. Setiap orang bisa berbeda dalam tahap identifikasinya, teman sekolahku, seorang cowok yang sejak kecil tinggal bersama neneknya dan dikasih main boneka2 an akhirnya dia mempunyai sifat gay juga"
Krinnggg....Kringgg...Kringg...........
suara bel dipencet, rupanya Janice sudah selesai kerja. Aku segera bangkit meninggalkan Ahmad dan membuka pintu untuk Janice.
"Goede avond schatje..*******" suara serak Janice langsung keluar begitu pintu terbuka.
"Kom binnen mijn lieveling..********"
Janice langsung mencium aku di bibir. Setelah bibirnya lepas, aku segera ingin memperkenalkan Janice pada Ahmad, Ahmad rupanya agak melengos, mungkin baru pertama kali bagi dia menonton adegan ciuman dua cewek secara langsung di depan matanya, sehingga sifatnya yang malu2 menuntunnya untuk lebih baik tidak melihat.

Setelah perkenalan basa basi, Janice langsung pergi ke kamar mandi, dan aku melanjutkan percakapanku dengan Ahmad di kamar. Aku lebih suka di kamar karena pembicaraan kami memang rahasia, dan Janice tahu itu. Dia tidak cemburu kalau aku memasukkan cowok ke kamarku, tapi kalau cewek, dia pasti akan marah habis2an.

Rupanya dibalik diamnya, Ahmad adalah sahabat yang sangat hangat dan charming, pendengar yang baik dan pengertian. Sehingga dengan itu, aku mendapatkan perasaan untuk bebas mengungkapkan segala keluh kesahku. Akupun cerita panjang lebar tentang masa laluku di pesantren, dimana aku merasa bahwa kehidupanku sangat dikekang. Apalagi kalau masalah cinta2an, menerima surat saja disensor habis2an. Jika tidak dari keluarga, kemungkinannya kecil sekali untuk sampai ke tangan yang dituju. Mungkin aku menikmati hubungan sesama jenis sejak aku di pesantren, karena nafsu yang menggebu dan tanpa ada penyaluran sama sekali walaupun lewat surat, banyak di antara kami yang bercinta di antara kami sendiri. Aku tidak tahu angka pasti berapa yang melakukannya, tapi yang pasti cukup banyak di antara sekitar 3.000 an santriwati yang belajar di pesantren itu. Ahmad masih mendengarkan dengan setia, sambil kadang mengangguk, atau menerawang tak tahu ke mana.

"Struktur dan paham institusi religi memang perlu saatnya banyak dirombak, kejadian yang kamu alami tidak hanya terjadi di pesantren wanita, di pesantren laki2 pun seperti itu, bahkan bukan rahasia lagi banyak pula terjadi di kepastoran atau di paroki, di wihara dan sebagainya, dimana pengekangan seks telah melampaui batas normal."

Lagi2 Ahmad membuatku tersentak, darimana dia tahu kalau kasus homoseksual itu terjadi di banyak lembaga2 suci itu. Jangan2 dia ngarang cerita saja, tapi aku tidak berani bertanya. Sepertinya dia bersungguh2 dengan ucapannya, dan aku tahu dia orang yang tidak suka berbohong.

"Ahmad, Janice meminta aku untuk memperkenalkannya pada keluargaku summer ini, sebagai pasanganku tentunya, karena dia sudah melakukannya pada keluarganya, bagaimana menurut pendapat kamu...? "

" Aku tidak tahu, itu terserah kamu, kalau kamu rasa orang tuamu siap, tidak masalah. Tapi maafkan kalau aku salah, menurut pertimbanganku, bapakmu yang kiai itu pasti akan shock berat. Sebaiknya jangan secara frontal memberitahu hubungan kalian, datanglah dulu apa adanya, biarlah Janice menjadi sedikit bagian dari keluargamu, mungkin kedatangan selanjutnya ketika suasana sudah cukup cair, baru kamu bilang terus terang".

Aku memeluk Ahmad, dia rupanya kali ini yang kaget....

"Terima kasih ya......."

tubuh Ahmad begitu hangat, tiba2 saja aku mengarahkan bibirku ke bibirnya, dia semula mengelak ke belakang, tapi aku segera menarik tubuhnya kembali.

"Kamu gila ya.." bisik Ahmad pelan-pelan.

"Cinta itu tidak sesederhana yang kita rasa" aku kembali memagut bibirnya.






* penghuni panti jompo
** dari kata komunal, mengutamakan kepentingan orang banyak.
*** oligark, seorang yang berjiwa oligarki (pemerintahan berada di sebagian kecil segmen masyarakat)
**** secara harfiah berarti perbuatan kaum nabi Luth, yaitu homoseksual.
***** Dengan Ahmad...., budaya di Belanda ketika mengangkat telpon, langsung menyebut nama.
****** Sampai malam nanti
******* Selamat Malam Sayang
******** Silahkan Masuk Kasihku
********* Sejenis pasta, bisa juga disebut fetuccini

Menyerah pada sang cinta

Anna datang dengan nafas tersengal2, terburu2 karena 20 menit lagi dia sudah harus pergi ke John Robert Power untuk mengikuti les kepribadian. Belum sempat dia mengambil apel Australia kesukaannya, ibunya sudah menyambutnya dengan senyum.

"Anna, makan dulu sana, mama sudah siapin bandeng presto buat kamu.., tuh kebetulan mumpung masih anget"

"Mah, nggak keburu....Anna musti nyampe di John Robert Power secepatnya, makasih ya Mah"

"Aduh anak mama ini, cuci muka dulu sana biar seger, rambutnya diiket yang rapi, pake lipstik, dan ganti baju yang bagus, kamu kan mau kursus kepribadian, musti kamu tunjukkan kalau kamu sudah punya kepribadian yang baik."

"Ya mah.....!!!!"

Anna buru2 ke kamarnya, sebuah kamar yang tidak terlalu ruas tetapi tertata sangat rapi, disana sini berjejeran piala dan penghargaan atas semua prestasinya selama ini. Kamar itu dicat warna biru, warna kesukaannya. Dia sangat cinta pada ibunya, memang cerewet tapi Anna tahu bahwa itu semua demi kebaikan Anna sendiri. Setelah cuci muka, langsung dia ganti baju, sekenanya dia ambil baju di dalam lemari warna pink itu. Segera dia turun dan mencium ibunya.

"Mah, Anna pergi dulu ya..."

"Lho, mana lipstiknya...koq nggak kelihatan merah...?"

"Nggak sempet Mah, tuh liat, tinggal 10 menit lagi.." Anna memang paling tidak suka memakai lipstik dan alat2 kecantikan yang lain, tapi dia kasihan kalau bilang terus terang sama mamanya.


"Ya sudah, ati2 ya..., belajar yang bener..."

"Makasih Mah, Assalamu alaykum"

Anna segera melesat naik menuju mobil BMW warna biru metalik yang sejak dari tadi menunggunya. Mang Udin sopir pribadinya sudah dari tadi ngetem di garasi. Bu Ratih, ibunya Anna, geleng2 kepala. Dia bangga sekali punya anak gadis seperti Anna, seorang gadis yang sangat aktif dan sangat pandai, tidak suka macam2, dan yang lebih membuat bangga lagi anak gadisnya itu cantik sekali yang mengingatkan Bu Ratih akan masa mudanya dulu. Banyak sekali pemuda yang mengiba cintanya, dan sering dia berkaca untuk melihat sisa2 kecantikannya yang rupanya telah banyak berpindah ke anaknya, si Anna. Kadang bahkan dia iri akan kecantikan anaknya itu, pipinya yang merah muda kalau tersentuh sinar mentari, bibirnya yang kemerahan disertai dengan senyumnya yang manis, rambutnya yang legam, wajahnya ayu, segalanya dipunyai Anna.



Sampai didepan John Robert Power, Anna segera membuka pintu mobil dan langsung menghambur menuju ruang kelas. Gedubraakkkkkk....!!!!! Anna menabrak seorang pemuda yang sedang ngecat pintu masuk, bak berisi cat itupun ngga karu2an mewarnai t-shirt lusuh yang dipakai pemuda itu, belum lagi tumpahan yang berserakan di lantai.

"Astaghfirullah, maaf, maaf, maaf, maaf sumpah saya nggak sengaja, maaf ya Mas..!!!!, saya terburu2 karena les saya sebentar lagi mulai"
"Bukan salahnya Nona koq, salahnya saya yang nggak kasih peringatan, lagian pintunya belum diajari ngomong, jadi dia tidak tahu musti ngomong apa ketika Nona mau buka pintu..., jadi atas nama pintu dan saya meminta maaf " Pemuda itu bukannya malah marah, tetapi tersenyum dan malah dengan nada bercanda meminta maaf.

"Perlu saya ganti berapa Mas atas cat sama t-shirtnya Mas yang rusak gara2 saya, maaf sekali lagi. Ini kartu nama saya dan Mas telpon saya ya, ntar saya datang ke tempatnya Mas untuk mbayar ganti kerugian, maaf saya musti pergi sekarang karena sudah hampir mulai"

Pemuda itu bengong, kejadiannya berlalu begitu cepat, sekarang dia tak tahu harus berbuat apa selain harus segera membersihkan semua tumpahan cat sebelum orang lain tahu kalau dia telah menumpahkan cat, yah...gadis itu yang menumpahkannya tapi atas kesalahan dia.



Kriiiiiiiiinggggggggg............

"Non Anna, telpon dari Den Ivan...!!!!!" suara Mbok Rumi dari kamar tamu.

"Ya Mbok, terima kasih ya.."

Mbok Rumi tersenyum, sungguh dia begitu senang bekerja di keluarga itu, dia diperlakukan sangat manusiawi, tidak seperti teman2nya pembantu yang lain. Si Denok, teman mainnya sejak kecil yang ikut merantau ke Jakarta, sering dimarahi sama majikannya, sering dibentak2, itupun setiap bulannya gajinya sering ditunda2.

"Sayang, ntar malem pergi ke Hard Rock Cafe yuk...?" jauh dari telepon suara Ivan, pacar si Anna.

"Mmmmhhh, bukannya aku nggak mau, tapi aku capek sekali, lain kali aja ya..." Anna merasa seluruh tubuhnya meriang, suhu tubuhnya naik, matanya mulai berkunang2. Burn out....

"Tapi sayang, kamu dateng dong....soalnya aku udah janjian ngenalin kamu ama temen2ku, aku kan malu kalau kamu nggak dateng." Praakkkk.....suara telpon jatuh, Anna pingsan dan terjatuh di lantai.

Keesokan harinya Anna terbangun dan mendapati dirinya sedang di rumah sakit, ada papa dan mama, dan ada satu lagi pemuda kusut yang langsung tersenyum ketika mata Anna menoleh ke dia. Senyum pemuda itu, oh senyum yang begitu damai, memang penampilannya kumal tapi Anna tidak tahu kenapa dia merasa dalam hatinya bahwa pemuda ini bukanlah orang yang jahat.Oh ya, Anna lambat laun ingat, ini adalah pemuda yang kemarin ditumpahin cat, yang baju dan celananya amburadul karena cat itu belepotan di seluruh tubuhnya. Tapi Anna tak begitu peduli, pemuda ini masih orang asing bagi dia.

"Mah, kenapa Anna di sini...?" Anna mulai membuka pembicaraan dengan mamanya

"Kamu kecapaian sayang, dan kamu kemarin bertengkar dengan Ivan, mungkin kamu terlalu memikirkannya."

"Trus dimana Ivan..?"

"Dia tidak mau kemari, dia masih marah sama kamu barangkali.."

"Oh ya, Mas ini katanya punya urusan sama kamu, dia tadi malem telpon tapi kamu sudah di rumah sakit, jadi mama suruh saja datang ke rumah sakit."

Anna segera menoleh ke pemuda lusuh itu.

"Maaf ya Mas, berapa harus saya ganti atas kesalahan saya kemarin..?"

"Itu bukan kesalahan kamu koq, saya datang ke sini justru untuk meminta maaf karena kejadian kemarin, dan ingin menjenguk kamu semoga kamu cepet sembuh"

"Tapi Mas, biarlah saya ganti kerugian kemarin, tidak apa2 koq"

"Terima kasih sekali, tapi memang benar saya tidak dirugikan, saya malah bersyukur bisa kenal sama kamu dan keluargamu, ini ada buku kecil untuk kamu baca selama di sini."

Veronika decides to die.........*, sekilas Anna melihat judul buku kecil itu, pikiran Anna sudah macam2, wong baru sakit begitu saja koq sudah dikasih buku tentang kematian, wah kurang ajar juga pemuda ini. Tapi dia tidak berani bilang, jangan2 .......

"Terima kasih ya Mas"

"Semoga cepet sembuh ya, jangan lupa berdoa pada Allah, saya pergi dulu, saya ada kuliah sebentar lagi, Assalamu alaykum"

Pemuda itu ngeloyor pergi dengan senyumnya............................



Anna merasa bosan sekali, sudah sehari semalam dia di rumah sakit. Tidak ada yang memperhatikannya sama sekali kecuali mama dan papanya. Ivan memang benar2 marah karena kejadian malam itu, buktinya sampai sekarang sama sekali belum ada telpon dari dia. Dia teringat pada buku kecil yang dikasih pemuda lusuh itu tadi pagi, perlahan dia membukanya...



Veronika, .....seorang gadis yang punya segalanya, gadis kaya raya dan cantik, gadis pujaan para pemuda, tapi suatu saat dia bosan dengan semuanya itu, karena semua itu tidak membahagiakan dia, batinnya masih kosong........



"Bagus juga buku ini" pikir Anna, dia merasa disindir, walau tidak semua dalam buku ini cocok dengan situasinya, batinnya tidak kosong seperti Veronika, dan dia tidak ingin mati seperti Veronika, Anna masih ingin banyak berbuat bagi manusia dam kemanusiaannya di dunia ini, tapi ada beberapa yang membuat dia berpikir semalaman. Mengapa pemuda itu begitu perhatian dengan Anna, di saat pacarnya sendiripun tidak perhatian dengan dia..?. Mengapa senyum pemuda itu begitu damai dirasakannya, mengapa.....



Anna telah jatuh cinta, tanpa alasan mungkin. Karena pemuda itu sama sekali tidak ganteng, pemuda itu lusuh, pemuda itu ya dia adalah pemuda biasa.Tapi caranya memperlakukan wanita, cara dia bicara, cara dia tersenyum........belum sempat dia menyelesaikan lamunannya HP-nya berbunyi............

"Assalamu alaykum Anna.."

"Waalaykum salam, dengan siapa ya...?Anna bingung, suara orang yang tak dikenalnya di ujung sana, rupanya di telepon umum atau di wartel karena latar belakang suaranya ribut seperti kendaran bermotor dan orang bincang2.

"Dengan pemujamu, aku Iman yang tadi ngasih kamu buku"

"Oh Mas ya...."

"Udah baikan...?'

"Alhamdulillah, anyway thanks bukunya ya..."

"Sama2, mmmmhhhhh....aku mau ngomong sesuatu semoga kamu nggak marah...."

"Ngomong apa Mas..?"

"Aku telah jatuh cinta denganmu, aku tahu aku bukan siapa2, aku sudah cukup berbahagia bertemu kamu, syukur jika engkau terima, jika tidakpun aku bisa menerima"

Seperti petir menyambar ubun2 Anna, lidahnya seperti tertekuk2, tak tahu harus bicara apa.....Anna pingsan lagi.....



Dalam pingsannya, Anna duduk berdua dengan pemuda itu di taman penuh bunga2 musim semi, berlatar belakang kincir angin.....................tidak ada siapapun di sana kecuali mereka berdua.............

kartini, pelacur kelas teri

Jarum jam menunjuk angka 2, dingin sudah mulai membelai kulit dan meminta perhatian agar aku segera tidur. Aku sudah memuaskan birahi Pak Reno, lelaki gendut kepala RT-ku. Dia berjalan terhuyung2 pulang ke rumahnya. Badannya bau sekali, mungkin dia hanya mandi pada bulan Suro saja, nafasnya ngos2an seperti dikejar maling, dan rambutnya yang mulai memutih itu, sering rontok kalau terkena tarikan, walaupun sedikit saja. kalau saja dia tidak membayar selembar ratusan ribu untuk "short attack", aku tidak akan sudi melayaninya.

Oh ya..perkenalkan namaku kartini, aku memakai k (kecil) untuk namaku karena aku tidak mau menodai nama Ibu bangsa Indonesia Raden Ajeng Kartini. Dia adalah idolaku sejak kecil, memang dia hanyalah seorang anak selir dari asisten Wedana*, tapi cita2nya untuk membangun bangsaku sangat aku kagumi. Aku tak perduli walaupun dia akhirnya menyerah kepada nasib dengan menikahi seorang bupati, bupati lagi bupati lagi.....aku jadi muak mendengar nama itu..seperti tidak ada nama lain saja di dunia ini. Bupati yang berkuasa di wilayah yang cukup luas, disembah di sana sini, orang menyungkur kalau bupati lewat, bisa menikahi perempuan lebih dari satu, bahkan mungkin sepuluh. Tetapi kebangsatan priyayi Jawa yang bertitel bupati ini juga tak kalah memuakkan, dia akan menyungkur terhadap penggede2 kumpeni, bangsaku menyebut demikian. Hasil bargaining dari Verenigde Oost-Indische Compagnie, bangsaku susah melafalkannya sehingga menyebut kumpeni dengan gampangnya.
Ibu Kartini memang menyerah terhadap tekanan terhadapnya, tapi aku toh menyerah juga pada tekanan yang menghimpitku. Jadi sekali lagi aku tidak perduli, bagiku Kartini adalah pahlawanku. Tapi begitulah, namaku juga kartini, tentu saja tanpa Raden Ajeng atau Raden Ayu di depannya, dulu waktu aku masih sekolah SD, aku dengan bangga menggunakan K besar di ujung namaku, aku ingin menjadi seperti dia, menentang kelaliman laki2, berteriak melawan kemunafikan para priyayi2, berharap menghancurkan budaya malu2 dan unggah-ungguh, mencoba mendidik wanita negeri untuk mampu mendongakkan wajah menghadap cerahnya kehidupan.
Tapi cita2 menjadi hanya sekedar cita2, seperti uap air yang akan segera menghilang membubung ke angkasa, berarak ke sana kemari menawarkan diri. Aku tidak bisa lagi melanjutkan ke SMP, walapun rentetan nilaiku cukup menjanjikan. Aku termasuk orang yang cukup cerdas, setidaknya itulah yang dibilang guru2 SD ku. Tapi beberapa lembar puluhan ribu tak ada pada diriku, sehingga dengan sangat terpaksa aku mendekam di rumah, menyaksikan teman2 sebayaku memakai sepatu baru, celana baru, tas baru, dan semua yang serba baru, cerah menjemput harapan. Kadang aku harus menangis, mengapa dunia ini terlalu jahat kepadaku, seorang gadis kecil yang harus menabrak kenyataan pahit.
Setiap pagi aku harus bangun, membantu ibu memasak, dan kemudian ikut ke sawah membantu apa saja yang bisa kulakukan. Sepetak tanah hasil warisan dari kakek itulah satu2nya harapan hidup kami. Itupun sering harus dibiarkan bero**karena pengairan irigasi belum sampai menyentuh sawah kami.
Aku cukup cantik, tubuhku putih bersih, rambutku panjang berombak, mataku bulat disertai bola mata yang tajam, seperti putri Bali kata ibuku. Dua tahun setelah aku lulus SD, datang seorang tetangga kami, Pak Dasad namanya, seorang tuan tanah. Dia bilang terus terang pada orang tuaku agar diijinkan mengawiniku, sebagai gantinya sawah sebahu*** akan diberikan kepada mereka. Ibuku dengan tegas menolak permintaan itu, bahkan dia menangis sesenggukan. Tapi bapak punya pendapat lain, dia setuju dan bahkan meminta persyaratan tambahan dari Pak Dasad, tegalan yang di pinggir kali punya Pak Dasad pun dimintanya juga. Malamnya terjadi perang besar antara bapak dan ibu, pertama kali dalam hidupku kulihat mereka begitu saling benci, saling caci, sumpah serapah keluar semua. Aku hanya diam saja. Hatiku menangis, tapi aku tidak bisa berbuat apa2. Aku ingin lari tetapi lari kemana. Aku hanya sesenggukan sendiri di kamar.
Besoknya aku sudah dipingit, tidak boleh keluar sama sekali. Rupanya bapak lebih superior daripada ibu, dan aku yang harus menjalani derita dari zaman ke zaman ini.
Beberapa hari setelahnya pun aku menikah, sederhana dan kecil2 an, karena aku memang istri ke sekian dari Pak Dasad. Dan malam petaka itupun datang, dengan nafsu Rahwana-nya Pak Dasad memperkosaku, ya dia memperkosaku. Sama sekali tidak ada foreplay, sama sekali tidak ada kata2 sayang yang seharusnya sangat diharapkan oleh seorang perempuan. Alih2 tahu tentang G-spot, bahkan setelah nafsu birahinya terpuaskan, diapun tidur terlelap dan mendengkur di sampingku.
Pernikahan kami tidak berlangsung lama, Pak Dasad adalah tipe yang ringan tangan. Pukulan sering mendarat di sekujur tubuhku bila ada sesuatu yang menurut dia salah. Lama kelamaan aku tidak tahan lagi, akupun minta cerai. Permintaanku dikabulkannya, tetapi masalah tidak berhenti di situ, aku hamil anaknya. Untuk menghindari malu, aku langsung mengungsi ke daerah perkotaan. Dimana berlaku filosofi hidupmu adalah hidupmu dan hidupku adalah hidupku.
Dan lahirlah Dara, mungil dan cantik, waktu lahir beratnya hanya 2,7 kg. Aku memberi nama demikian, karena aku ingin dia bisa terbang bebas seperti burung dara(merpati=red), menemukan soul mate-nya dan hidup bahagia selama2nya. Untuk menghidupi Dara, aku bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Siang hari aku bekerja, dan malam hari aku merawat Dara. Untung siang hari ada seorang nenek sebelah kos2anku yang rela menunggui Dara tanpa bayaran sepeserpun.
Suatu saat aku ketiduran saat memasak, lelah sekali karena Dara rewel terus semalaman, dan panci tempat aku masak itupun hangus dan terbakar. Aku mendapat marah besar dan seketika itu pula dipecat dari jabatan pembantu rumah tangga.
Mencari pekerjaan susah sekali, jangankan untuk aku yang hanya lulusan SD, para sarjana2 yang telah bertitel berjejer, dan yang menghabiskan puluhan juta untuk studinya saja harus berlari pontang-panting ke sana kemari mencari sesuap nasi.
Dara kena demam, aku tidak ada uang sama sekali, aku pinjam kesana kemari tidak ada yang mau meminjami, Dara menangis saja tanpa henti, aku sampai pusing mendengarnya. Tiba2 pintu kosku dibuka, aku kaget, Pak Budi, tetanggaku yang ganteng itu masuk tanpa permisi. DIa menawarkan untuk membawa Dara ke dokter terdekat, tetapi meminta imbalan tubuhku. Aku bimbang memilih antara nilai harga diri dan kecintaan kepada anak. Akhirnya aku memilih yang kedua. Itulah pertama kali aku menjual tubuhku untuk beberapa lembar puluhan ribu. Pekerjaan ringan sebenarnya, walau hati ini pedih. Tetapi aku tidak punya pilihan lain.
Dan menjadi perempuan penjual cinta pun menjadi pekerjaanku sejak itu. Aku tidak tahu kenapa, namaku cepat sekali menyebar di kalangan underground pria hidung belang. Kebanyakan memang pria baik2 yang menjadi langgananku, tetapi juga tak jarang pula para bangkotan tengik itu yang menikmati tubuhku.
Dara sudah umur 3 tahun sekarang, sudah mulai ceriwis, rasa ingin tahunya semakin besar, dan sudah mulai kelihatan tanda2 kecantikan yang ia warisi dariku.
"Mama, kenapa setiap hari selalu ada orang kesini..?, apakah mereka menyakiti mama..?"
"Dara sayang, mereka tidak menyakiti mama, mereka justru membantu mama, untuk membeli makanan dan menyekolahkan Dara tahun depan"
"Mama, jadi apakah aku nanti..?"
Aku kaget, dan airmataku meleleh.
" Dara akan jadi Kartini yang tidak pernah menyerah"

Cintailah Dia Hanya Karena Allah

Mencintai seseorang atau suatu kadang bisa membuat kita lupa makna hakikat dari apa yang kita cintai, siapa yang pernah menciptakannya, menjadikannya hadir di dunia ini, membuatnya ada tampil seperti sekarang ini.

Adalah Allah yang telah menjadikannya Tampan dan manis, imut-imut dan lugu, penuh kharisma dan wibawa, inilah yang bisa meruntuhkan dinding-dinding keangkuhan kita pada makhluk yang namanya laki-laki.

Tapi ketahuilah kita tak akan pernah rugi kalo mencintainya karena Allah, karena sampai kapanpun, apapun cuma Allah yang kelak akan membukakan hatinya untuk kita, menyayangi kita, dan peduli tentang kita.

Maka dari itu, cintai dia karena Allah. Maka kita tak akan kecewa sampai kapanpun.

Ketika Kami Tak Cocok Lagi

Suami saya adalah seorang insinyur, saya mencintai sifatnya yang alami dan saya menyukai perasaan yang hangat yang muncul ketika saya bersender di bahunya yang bidang. Tiga tahun dalam masa kenalan dan bercumbu, sampai sekarang, dua tahun dalam masa pernikahan, harus saya akui, saya mulai merasa lelah dengan semua itu.

Alasan saya mencintainya pada waktu dulu, telah berubah menjadi sesuatu yang melelahkan. Saya seorang wanita yang sentimentil dan benar-benar sensitif serta berperasaan halus. Saya merindukan saat-saat romantis seperti seorang anak kecil yang menginginkan permen. Dan suami saya bertolak belakang dari saya, rasa sensitifnya kurang, dan ketidakmampuannya untuk menciptakan suasana yang romantis di dalam pernikahan kami telah mematahkan harapan saya tentang cinta.

Suatu hari, akhirnya saya memutuskan untuk mengatakan keputusan saya kepadanya. Saya menginginkan perceraian.

“Mengapa?” dia bertanya dengan terkejut.

“Saya lelah. Terlalu banyak alasan yang ada di dunia ini,” jawab saya.

Dia terdiam dan termenung sepanjang malam dengan rokok yang tidak putus-putusnya. Kekecewaan saya semakin bertambah. Seorang pria yang bahkan tidak dapat mengekspresikan perasaannya, apalagi yang saya bisa harapkan darinya? Dan akhirnya dia bertanya, “Apa yang dapat saya lakukan untuk mengubah pikiranmu?”

Seseorang berkata, mengubah kepribadian orang lain sangatlah sulit, dan itu benar. Saya pikir, saya mulai kehilangan kepercayaan bahwa saya bisa mengubah pribadinya. Saya menatap dalam-dalam matanya dan menjawab dengan pelan, “Saya punya pertanyaan untukmu. Jika kamu dapat menemukan jawabannya yang ada di dalam hati saya, mungkin saya akan mengubah pikiran. Seandainya, katakanlah saya menyukai setangkai bunga yang ada di tebing gunung, dan kita berdua tahu, jika kamu memanjat gunung itu, kamu akan mati. Apakah kamu akan melakukannya untuk saya?”

Dia berkata, “Saya akan memberikan jawabannya besok.”

Hati saya langsung gundah mendengar responnya. Keesokan paginya, dia tidak ada di rumah, dan saya melihat selembar kertas dengan coret-coretan tangannya, di bawah sebuah gelas yang berisi susu hangat, yang bertuliskan:

“Sayang, Saya tidak akan mengambil bunga itu untukmu. Tetapi izinkan saya untuk menjelaskan alasannya.”

Kalimat pertama ini menghancurkan hati saya. Saya mencoba untuk kuat melanjutkan membacanya kembali…

“Kamu hanya bisa mengetik di komputer dan selalu mengacaukan program di PC-nya dan akhirnya menangis di depan monitor. Lalu saya harus memberikan jari-jari saya untuk memperbaiki programnya.

“Kamu selalu lupa membawa kunci rumah ketika kamu keluar rumah, dan saya harus memberikan kaki saya supaya bisa masuk mendobrak rumah, membukakan pintu untukmu.

“Kamu suka jalan-jalan ke luar kota tetapi selalu nyasar di tempat-tempat baru yang kamu kunjungi: saya harus memberikan mata untuk mengarahkanmu.

“Kamu selalu pegal-pegal pada waktu ‘tamu’ kamu datang setiap bulannya: saya harus memberikan tangan saya untuk memijat kakimu yang pegal.

“Kamu senang diam di dalam rumah, dan saya kuatir kamu akan jadi ‘aneh’. Lalu saya harus memberikan mulut saya untuk menceritakan lelucon dan cerita-cerita untuk menyembuhkan kebosananmu.

“Kamu selalu menatap komputer dan itu tidak baik untuk kesehatan matamu. Saya harus menjaga mata saya sehingga ketika nanti kita tua, saya masih dapat menolong mengguntingkan kukumu dan mencabuti ubanmu. Saya akan memegang tanganmu, menelusuri pantai, menikmati sinar matahari dan pasir yang indah. Menceritakan warna-warna bunga kepadamu yang bersinar seperti wajah cantikmu….

“Juga sayangku, saya begitu yakin ada banyak orang yang mencintaimu lebih dari cara saya mencintaimu. Tapi saya tidak akan mengambil bunga itu lalu mati….”

Air mata saya jatuh ke atas tulisannya dan membuat tintanya menjadi kabur dan saya membaca kembali…

“Dan sekarang sayangku, kamu telah selesai membaca jawaban saya. Jika kamu puas dengan semua jawaban ini, tolong bukakan pintu rumah kita, saya sekarang sedang berdiri di sana dengan susu segar dan roti kesukaanmu….”

Saya segera membuka pintu dan melihat wajahnya yang dulu sangat saya cintai. Dia begitu penasaran sambil tangannya memegang susu dan roti. Saya tidak kuat lagi dan langsung memeluknya dan rebah di bahunya yang bidang sambil menangis….

Mutiara di Ujung Sana

mentari senja
perlahan tenggelam
membiaskan cahaya kemerahan
burung camar memekik petang
menangisi mentari pulang, menangisi

kita duduk di tepian,
mendengarkan gemercik mengalir
tak terbendung
darimanakah sumbernya
air matamu pun menderas

kulihat senja perlahan
ingin kutahan kenangan ini
tak akan sempat berlalu
walau sekejap
tak akan kulepaskan
kekasih yang kudekap erat, erat

ah, senja yang kelabu, kuning dan ungu
biarkan aku sebebas burung camar itu
biarkan kutangkap pelangi diujung sana
sedang mentari merah disampingku
mengalirkan muara duka dan bahagia

bercerita tanpa kata-kata
menangis tanpa air mata
langit bagaikan layar,
kisah tentang perjalanan
ombak di ketenangan pusaran

tapi waktu tak berpihak
pada angin dan ombak
pada saatnya harus berpisah
menemukan dunia kita
yang tersembunyi dibalik kenangan

katakan dengan senyummu, pelangi
akan kutemukan
mutiara diujung sana

Cinta Sejati atau Cinta Buta

Saat kamu merasakan cinta sejati, kamu menyayangi seseorang apa adanya, memahami kekurangannya dan menutupi kelemahannya sambil melihat sisi terbaiknya.

Saat kamu cinta buta dengan seseorang,
kamu menganggapnya dia begitu sempurna
hingga menutupi seluruh kekurangan yang ada pada dirinya.

Hmmmmm…

Kalau dipikir-pikir lagi,
sebenarnya perbedaan antara Cinta Buta dan Cinta Sejati
itu tipiiiiiissss banget ya?

Saat kamu mencintai seseorang begitu dalamnya,
kemungkinan besar kamu akan mencoba memahami kekurangannya.
Di saat itu.. apakah kamu mencintainya secara buta
atau memang hanya mencintai dia apa adanya?

Saat dia melakukan kesalahan dan kamu memaafkannya,
karena namanya manusia memang tak pernah lepas dari kesalahan,
apakah itu berarti mencintainya secara buta
atau mencintai apa adanya?

Saat hadir seseorang yang lebih baik darinya,
namun tak juga kamu berpaling dari sang kekasih
apakah itu berarti mencintai apa adanya
atau mencintai secara buta?

Atau saat kamu menganggapnya begitu sempurna
sehingga tak ada yang mampu menggantikan kehadirannya,
apakah itu berarti mencintai apa adanya
atau mencintai secara buta?

Sampai sejauh mana kita bisa mencintai apa adanya
tanpa harus membutakan mata?

Apakah mungkin seseorang mencintai apa adanya tanpa menjadi buta?
Ataukah mencintai secara buta berarti juga mencintai apa adanya?

Cermin seekor Burung

Ketika musim kemarau baru saja mulai. Seekor burung pipit mulai merasakan tubuhnya kepanasan, lalu mengumpat pada lingkungan yang dituduhnya tidak bersahabat. Dia lalu memutuskan untuk meninggalkan tempat yang sejak dahulu menjadi habitatnya, terbang jauh ke utara, mencari udara yang selalu dingin dan sejuk.

Benar, pelan pelan dia merasakan kesejukan udara, makin ke utara makin sejuk, dia semakin bersemangat memacu terbangnya lebih ke utara lagi.

Terbawa oleh nafsu, dia tak merasakan sayapnya yang mulai tertempel salju, makin lama makin tebal, dan akhirnya dia jatuh ke tanah karena tubuhnya terbungkus salju.

Sampai ke tanah, salju yang menempel di sayapnya justru bertambah tebal. Si burung pipit tak mampu berbuat apa apa, menyangka bahwa riwayatnya telah tamat.

Dia merintih menyesali nasibnya. Mendengar suara rintihan, seekor kerbau yang kebetulan lewat menghampirinya. Namun si burung kecewa mengapa yang datang hanya seekor kerbau. Dia menghardik si kerbau agar menjauh dan mengatakan bahwa makhluk yang tolol tak mungkin mampu berbuat sesuatu untuk menolongnya.

Si kerbau tidak banyak bicara, dia hanya berdiri, kemudian kencing tepat di atas burung tersebut. Si burung pipit semakin marah dan memaki maki si kerbau. Lagi-lagi si kerbau tidak bicara, dia maju satu langkah lagi, dan mengeluarkan kotoran ke atas tubuh si burung. Seketika itu si burung tidak dapat bicara karena tertimbun kotoran kerbau. Si Burung mengira lagi bahwa mati tak bisa bernapas.

Namun perlahan lahan, dia merasakan kehangatan, salju yang membeku pada bulunya pelan-pelan meleleh oleh hangatnya tahi kerbau, dia dapat bernapas lega dan melihat kembali langit yang cerah. Si burung pipit berteriak kegirangan, bernyanyi keras sepuas puasnya.

Mendengar ada suara burung bernyanyi, seekor anak kucing menghampiri sumber suara, mengulurkan tangannya, mengais tubuh si burung dan kemudian menimang nimang, menjilati, mengelus dan membersihkan sisa-sisa salju yang masih menempel pada bulu si burung. Begitu bulunya bersih, si burung bernyanyi dan menari kegirangan, dia mengira telah mendapatkan teman yang ramah dan baik hati.

Namun apa yang terjadi kemudian, seketika itu juga dunia terasa gelap gulita bagi si burung, dan tamatlah riwayat si burung pipit ditelan oleh si kucing.

Hmm… tak sulit untuk menarik garis terang dari kisah ini, sesuatu yang acap terjadi dalam kehidupan kita: halaman tetangga tampak selalu lebih hijau; penampilan acap menjadi ukuran; yang buruk acap dianggap bencana dan tak melihat hikmah yang bermain di sebaliknya; dan merasa bangga dengan nikmat yang sekejap. Burung pipit itu adalah cermin yang memantulkan wajah kita…

kapankah ada shukur

Semula
dianggap biasa

Bila tak terlepas
merasa lebih bebas

Bila pergi
selalu diratapi

Bila kembali
semakin lupa diri

Bila ada
membuat lupa

Bila hilang
sibuk mencari, nangis meradang

Bila didapat
bersuka ria hingga tak ingat

kau nurani

Kehangatan hati meninggi
Darah mendidih deras berlari
Panas, melumat nadi-nadi

Kau,
yang tersemai di ladang hati

Kau,
bersemi di hati tak mau lagi

Jauh engkau pergi
sejuk hati sulit kembali
Malah, panas bertambah
semua gerah

Lama engkau pergi
Darah mengalir tak terkendali

Kau,
bersemayam di mana kini!?

CINTA & KAWAN

Satu hari CINTA & KAWAN berjalan dalam kampung...
Tiba-tiba CINTA terjatuh dalam telaga...
Kenapa??
Kerena CINTA itu buta...
Lalu KAWAN pun ikut terjun dalam telaga...
Kenapa??
Kerena... KAWAN akan buat apa saja demi CINTA !!
Di dalam telaga CINTA hilang...
Kenapa??
Kerena... CINTA itu halus, mudah hilang kalau tak dijaga, sukar dicari
apa lagi dalam telaga yang gelap...
Sedangkan KAWAN masih lagi tercari-cari dimana CINTA & terus menunggu..
Kenapa??
Kerana... KAWAN itu sejati & akan kekal sebagai KAWAN yang setia...kan ??
so, hargai lah KAWAN kita selagi kita terasa dia BERARTI....
Walau kita punya couple, teman tetap yang paling setia.
Walau kita punya harta banyak, teman tetap yang paling berharga.
Kirim balik jika anda anggap saya sebagai teman selamanya.
Kirim ke semua teman anda dan lihat brapa banyak teman yang sayang anda
!!!!!!!!!!!!
frenz never break............